Diskriminasi Buruh Wanita

Wanita konon diciptakan Tuhan sebagai makhluk mulia dan sempurna dari tulang rusuk pria. Hakikat wanita adalah bagian hidup dan partner hidup seorang pria baik dalam suka maupun duka. Diberbagai pandangan kehidupan di dunia  wanita selalu digambarkan sebagai seorang yang lemahlembut, penuh kasih sayang dan sabar. Mari kita tengok ibu kita, dia seorang wanita yang paling dekat dan mengerti segalanya tentang kita. Lihatlah betapa berjasanya seorang ibu, wanita yang mengandung kita, membesarkan kita dengan penuh kasih sayang dan selalu memaafkan kita meskipun kita sering mengecewakan beliau. Melihat semua pernyataan diatas tentu seharusnya tak ada lagi bentuk diskriminasi-diskriminasi dan perbedaan sikap terhadap wanita. Namun kenyataannya bentuk-bentuk diskriminasi terhadap wanita masih sangat kentara.

Diskriminasi terhadap wanita menurut konvensi CEDAW ada 12 bentuk diskriminasi yaitu (1) perempuan dan kemiskinan; (2) pendidikan dan pelatihan perempuan; (3) perempuan dan kesehatan; (4) kekerasan terhadap perempuan; (5) perempuan dan konflik bersenjata; (6) perempuan dan ekonomi; (7) perempuan dalam kekuasaan dan pengambilan keputusan; (8) mekanisme kelembagaan untuk kemajuan perempuan; (9) hak asasi perempuan; (10) perempuan dan media; (11) perempuan dan lingkungan hidup; dan (12) anak perempuan.

Berbagai upaya yang telah dilakukan untuk menghapuskan dua belas bentuk diskriminasi tersebut, antara lain yang menyangkut kekerasan terhadap perempuan dengan ditetapkannya UU No. 23 Tahun 2004 pada September 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga. Di samping itu, dalam mendukung upaya penghapusan diskriminasi tersebut, dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) tahun 2005 akan dibahas berbagai rancangan undang-undang yang berkaitan dengan penghapusan diskriminasi terhadap perempuan, antara lain RUU tentang Keimigrasian, RUU tentang Kesehatan, RUU tentang Pornografi dan Pornoaksi, dan RUU tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Namun semua ini belum bisa menyelesaikan berbagai bentuk diskriminasi wanita secara keseluruhan.


Masalah wanita sebenarnnya sudah banyak disoroti oleh pemerhati wanita baik ditingkat nasional maupun internasional. Kajian terhadap wanita setiap tahun semakin marak diperdebatkan agar wanita dapat merambah dunia yang lebih luas dari sebelumnya, sebab menurut anggapan sebagian besar orang wanita hanya cocok bekerja pada sektor domestik seperti mengasuh anak, memasak, dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya sedangkan untuk para laki-laki tugasnya adalah bekerja disektor publik seperti menjadi pegawai, karyawan, pengusaha, politikus dan lain sebagainya. Pada jaman global anggapan demikian adalah kurang tepat adanya sebab apa yang dikerjakan laki-laki juga bisa dilakukan oleh wanita, hanya saja laki-laki kurang memberikan ruang gerak yang luas terhadap wanita untuk memerankan aktifitasnya dalam segala sektor kehidupan. 


Pada waktu hari buruh sedunia kemarin diberbagai kota terlihat aksi turun ke jalan yang dilakukan oleh para buruh wanita. Mereka menuntut agar perusahaan-perusahaan tidak menerapkan diskriminasi antara buruh perempuan dan buruh laki-laki. Menurut mereka selama ini buruh perempuan mengalami dua macam penindasan dari sisi budaya patriarki serta penindasan dari budaya militer yang diterapkan dibanyak pabrik.  Buruh wanita yang bekerja di pabrik lebih tertindas dibandingkan buruh laki-laki. Intimidasi dan diskriminasi lebih kerap dialami buruh wanita ketimbang buruh laki-laki. Buruh wanita paling tertindas diantara buruh yang bekerja di pabrik, buruh laki-laki sudah tertindas tapi buruh wanita lebih tertindas lagi. Hal itu diperparah dengan hak buruh wanita yang tidak diberikan, misalnya buruh perempuan masih banyak yang dipekerjakan malam hari bahkan sampai jam dua pagi, padahal dalam undang-undang tidak diperbolehkan. Alasannya,targetkerja yang hanya dikenai buruh perempuan tidak terpenuhi. Persoalan hak dasar pun masih sangat sulit didapatkan buruh perempuan.Hak dasar itu adalah cuti hamil dan saat haid. Tapi masih banyak buruh yang tidak bisa menikmati itu, untuk mendapatkannya prosesnya akan dipersulit. Berbagai diskriminasi lain buruh wanita masih juga menjadi hal yang jamak dijumpai. Mulai dari standar upah yang lebih rendah dari upah buruh laki-laki, tiadanya tunjangan pesangon, seperti yang diterima buruh laki-laki, hingga skors dalam bentuk kerja lembur tanpa dibayar bila tak memenuhi target kerja, yang ditetapkan secara sewenang-wenang oleh perusahaan.

Salah satu bentuk diskriminasi di pasar kerja yang banyak mendapat sorotan adalah diskriminasi upah menurut jenis kelamin. Perusahaan dianggap melakukan pembedaan upah tanpa kriteria obyektif atau terkait dengan kinerja buruh. Misalnya praktik pembedaan upah antara perempuan dengan laki-laki di kalangan buruh tani sudah berjalan sejak sangat lama. Entah siapa yang memulai, buruh tani perempuan diberi upah yang nilainya sekitar 75 persen dari upah buruh tani laki-laki. Padahal tidak sedikit jenis pekerjaan di sektor pertanian yang secara umum lebih baik hasilnya jika dikerjakan perempuan. Artinya, perbedaan produktivitas bukanlah alasan pembedaan upah tersebut.

Sekarang, setelah sekian lama gerakan penghapusan segala bentuk diskriminasi demikian kencang jalannya, sangat menarik melihat apakah praktik diskriminasi upah tetap terjadi. Juga menarik melihat apakah kebijakan pemerintah bisa memainkan peran penting dalam penghapusan diskriminasi upah. Tuduhan diskriminasi upah tidak dengan serta-merta bisa dialamatkan kepada pengusaha. Ada dua situasi yang memang terkait, tetapi bisa dibedakan satu dengan lainnya, yakni diskriminasi upah dan diskriminasi pekerjaan.  Diskriminasi upah merupakan pembedaan upah buruh pada pekerjaan, kualifikasi, jam kerja, kinerja, serta kondisi lain yang semuanya sama. Jadi, pembedaan upah dilakukan semata-mata karena pertimbangan jenis kelamin.  Sementara itu, diskriminasi pekerjaan tidak mengenal pembedaan upah antara laki-laki dan perempuan untuk pekerjaan sama, tetapi membatasi akses perempuan pada pekerjaan tertentu. Lebih spesifik lagi, perempuan hanya diberi akses untuk pekerjaan "marjinal" yang upahnya lebih rendah. Ada berbagai alasan perusahaan melakukan diskriminasi pekerjaan. Pertama, prasangka pekerjaan tertentu hanya bisa dilakukan laki-laki, atau perempuan hanya cocok melakukan kerja tertentu. Ini dapat dilihat pada iklan lowongan pekerjaan di berbagai media massa. Kedua, peraturan tentang hak-hak pekerja perempuan, sehingga merekrut pekerja perempuan dianggap "merugikan" perusahaan. Contohnya, aturan tentang cuti, khususnya cuti haid dan cuti melahirkan. Di satu sisi, peraturan ini positif, karena sangat melindungi pekerja perempuan terkait dengan fungsi reproduksinya. Akan tetapi, dari sudut pandang perusahaan, ketentuan ini membuat pekerja perempuan sangat berpotensi memiliki hari kerja lebih rendah daripada laki-laki, sementara gajinya harus terus diberikan ketika cuti. 


Hasil analisis Pusat Kajian Kebijakan Publik Akademika menunjukkan, diskriminasi upah buruh perempuan memang terjadi. Pada tingkat pendidikan, jam kerja, umur, dan daerah yang sama, secara statistik terbukti buruh perempuan menerima upah lebih rendah daripada laki-laki. Setelah dikontrol dengan berbagai variabel tersebut, perbedaan upah mencapai Rp 216.000 sebulan. Digabung dengan fenomena empiris yang teramati antara lain dari iklan lowongan pekerjaan di media massa, hasil analisis tersebut menunjukkan, di Indonesia terjadi dua jenis diskriminasi (upah dan pekerjaan) sekaligus bagi buruh perempuan. Apa pun alasannya, kedua bentuk diskriminasi tersebut sama buruknya bagi buruh perempuan.

Secara umum hak dan kewajiban bagi tenaga kerja laki-laki maupun wanita adalah sama, seperti halnya a. pengaturan jam kerja/lembur, b. waktu kerja dan istirahat, c. peraturan tentang istirahat/cuti tahunan, d. jaminan sosial, pengupahan dan sebagainya. Didalam surat keputusan izin penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat dicantumkan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh pihak pengusaha. Pengaturan tentang kerja lembur tersebut diatur dalam keputusan Menteri Tenaga Kerja No. KEP. 608/MEN/1989 tentang: “ Pemberian izin penyimpangan waktu kerja dan waktu istirahat bagi perusahaan-perusahaan yang memperkerjakan pekerjaan 9 jam sehari atau 54 jam seminggu”. Pengaturan jam kerja diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1951, pasal 10 ayat 1 dan ayat 3: Setelah buruh menjalankan pekerjaan selama 4 jam terus-menerus diadakan waktu istirahat yang sedikit-sedikitnya setengah jam lamanya diadakan waktu istirahat tidak termasuk waktu jam kerja,Untuk tiap-tiap minggu harus diadakan sedikitnya satu hari istirahat. Hal ini dimaksudkan agar para pekerja setelah menjalankan pekerjaan didalam batas waktu tertentu setelah mendapat istirahat agar segera menghadapi pekerjaan selanjutnya, dan diharapkan produktivitas kerja akan naik dengan terjaminnya keselamatan dan kesehatan kerja.Bagi tenaga kerja yang sudah memiliki masa kerja 12 bulan berturut-turut berhak untuk mendapatkan istirahat/ cuti tahunan. Hal ini diatur dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1951 pasal 14 disebutkan bahwa buruh menjalankan pekerjaan untuk satu atau beberapa majikan dari suatu organisasi harus diberi izin untuk beristirahat sedikit-sedikitnya dua minggu tiap-tiap tahun. Jaminan sosial juga harus diberikan agar para pekerja dapat melakukan pekerjaannya dengan semangat dan bergairah. Jaminan sosial yang dimaksud antara lain jaminan sakit, hari tua, jaminan kesehatan, jaminan perumahan, jaminan kematian dan sebagainya. Mengenai jaminan sosial ini sudah diatur secara normatif didalam perundangan, sehingga bagi perusahaan yang belum atau tidak memenuhi standard yang sudah ditetapkan dapat dikenakan sangsi. Perihal perlindungan upah diatur dalam peraturan pemerintah No. 8 Tahun 1981, antara lain mengatur tentang upah yang diterima oleh para pekerja apabila pekerja sakit, halangan atau kesusahan. Disamping itu diatur pula tentang larangan diskriminasi antara tenaga kerja lagi-lagi dan tenaga kerja wanita didalam hal menetapkan upah untuk pekerjaan yang sama nilainya.

Meskipun memiliki hak dan kewajiban yang sama dengan tenaga kerja pria, namun tenaga kerja wanita memiliki perlindungan-perlindungan yang sifatnya khusus antara lain : a. kerja malam, b. cuti haid, c. cuti hamil, melahirkan dan keguguran, d. Kesempatan menyusukan anak, e. penghapusan perbedaan perlakuan terhadap tenaga kerja wanita. Ketentuan yang mengatur kerja malam tenaga kerja wanita pada pasal 7 ayat 1 No.12 tahun 1984 menetapkan : “ Orang wanita tidak boleh menjalankan pekerjaan pada malam hari, kecuali jika pekerjaan itu menurut sifat, tempat, dan keadaan seharusnya dijalankan oleh wanita”. Tata cara mempekerjakan tenaga kerja wanita pada malam hari telah dikeluarkan dengan peraturan Menteri Tenaga Kerja R.I./ No. Per.04 /MEN/1989 yang terdiri dari lima pasal antara lain, harus ada izin dari Depnaker setempat dengan syarat yang harus dipenuhi, misalnya: mutu produksi harus lebih baik bila mempekerjakan wanita, pengusaha harus menjaga keselamatan, kesehatan dan kesusilaan (tidak boleh mepekerjakan wanita dalam keadaan hamil, ada angkutan antar jemput dan sebagainya), penyediaan makanan ringan, ada izin dari orang tua/ suami. Namun kenyataannya masih banyak perusahaan yang belum melaksanakan peraturan tersebut misalnya tenaga kerja wanita tidak disediakan angkutan antar jemput melainkan datang sendiri ke tempat kerja. Bagi wanita yang normal dan sehat, pada usia tertentu akan mengalami haid. Didalam prakteknya, banyak wanita yang sedang dalam masa haid tetap bekerja tanpa gangguan apapun. Tetapi kalau keadaan fisiknya tidak memungkinkan sehingga yang bersangkutan tidak dapat melakukan pekerjaan tersebut. Hal ini diatur dalam UU No.1 tahun 1951, pasal 13 ayat 1 dinyatakan: Buruh wanita tidak boleh diwajibkan bekerja pada hari pertama dan hari kedua waktu Haid. Bagi tenaga kerja yang hamil, dilindungi oleh UU dalam pasal 13 ayat 2 dan ayat 3 menyatakan: Buruh wanita harus diberi istirahat selama satu setengah bulan sebelum saatnya melahirkan menurut perhitungan dan satu setengah bulan setelah melahirkan anak atau gugur hamil. Cuti sebelum saatnya melahirkan dimungkinkan untuk diperpanjang apabila ada keterangan dokter yang menerangkan bahwa yang bersangkutan perlu mendapatkan istirahat untuk menjaga kehamilannya. Perpanjangan waktu istirahat sebelum melahirkan memungkinkan sampai selama-lamanya tiga bulan. Bagi tenaga kerja wanita yang masih menyusukan anak. Harus diberi kesempatan sepatutnya untuk menyusukan anak. Didalam penjelasan pasal 13 ayat 4 tersebut ditentukan bahwa dipikirkan oleh pemerintah kemungkinan mengadakan tempat penitipan anak.

Nah, sebenarnya Undang-Undang yang ada di Indonesia telah banyak mengatur agar diskriminasi buruh wanita dapat diminimalisasi dan dapat buruh wanita dapat diperlakukan secara layak. Namun pada kenyataanya diskriminasi dan penindasan masih saja terjadi. Maka dari itu dibutuhkan juga peran pemerintah untuk mengawasi pengaplikasian perundang-undangan yang ada mengingat masih banyak perusahaan atau pengusaha yang meskipun sudah mengetahui  peraturan yang berlaku tetapi tidak melaksanakan sebagaimana mestinya. Perlunya sangsi tegas bagi pengusaha yang tidak melaksanakan peraturan tersebut demi tercapainya hubungan industrial pancasila, adanya saling membutuhkan antara pihak pengusaha dan tenaga kerja khususnya tenaga kerja wanita.

DAFTAR PUSTAKA
Soepomo, Imam. 1975. Hukum Perburuhan Bidang Kesehatan Kerja (Perlindungan Buruh). Jakarta: Pradnya Paramita.
Tunggal, Imam S. Widjaja, Amin. 1999. Peraturan Perundang-undangan Ketenagakerjaan Baru di Indonesia. Jakarta: Harvarindo.
Buletin Kalyamedia titian menuju Pemberdayaan Perempuan. Edisi I No. 4 Desember. Penerbit Kalyamitra







*dibuat saat mahasiswa semester 2 untuk memenuhi Tugas Mata Kuliah Kesehatan Reproduksi*

0 komentar:

Post a Comment