VAKSIN MR HALAL ATAU HARAM ?

FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA
Nomor :  33 Tahun 2018
 
Tentang
 
PENGGUNAAN VAKSIN MR (MEASLES RUBELLA) PRODUK DARI  SII (SERUM INTITUTE OF INDIA) UNTUK IMUNISASI

 
Dengan bertawakal kepada Allah SWT

MEMUTUSKAN
Menetapkan    :   FATWA TENTANG PENGGUNAAN VAKSIN MR (MEASLES RUBELLA) PRODUK DARI SII (SERUM INTITUTE OF INDIA) UNTUK IMUNISASI


Pertama    : Ketentuan Hukum

1. Penggunaan vaksin yang memanfaatkan unsur babi dan turunannya hukumnya haram.

2. Penggunaan Vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII) hukumnya haram karena dalam proses produksinya menggunakan bahan yang berasal dari babi.

3. Penggunaan Vaksin MR produk dari Serum Institute of India (SII), pada saat ini, dibolehkan (mubah) karena :

a.  Ada kondisi keterpaksaan (dlarurat syar’iyyah)

b.  Belum ditemukan vaksin MR yang halal dan suci

c. Ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal.

4. Kebolehan penggunaan vaksin MR sebagaimana dimaksud pada angka 3 tidak berlaku jika ditemukan adanya vaksin yang halal dan suci.
 
Kedua    :    Rekomendasi

1. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan vaksin halal untuk kepentingan imunisasi bagi masyarakat.

2. Produsen vaksin wajib mengupayakan produksi vaksin yang halal dan mensertifikasi halal produk vaksin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

3. Pemerintah harus menjadikan pertimbangan keagamaan sebagai panduan dalam imunisasi dan pengobatan.

4. Pemerintah hendaknya mengupayakan secara maksimal, serta melalui WHO dan negara-negara berpenduduk muslim, agar memperhatikan kepentingan umat Islam dalam hal kebutuhan akan obat-obatan dan vaksin yang suci dan halal.


Ketiga      : Ketentuan Penutup

1. Fatwa ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan, dengan ketentuan jika di kemudian hari ternyata membutuhkan perbaikan, akan diperbaiki dan disempurnakan sebagaimana mestinya.

2. Agar setiap muslim dan pihak-pihak yang memerlukan dapat mengetahuinya, menghimbau semua pihak untuk menyebarluaskan fatwa ini.


Ditetapkan di    : Jakarta
Pada tanggal    :   
08 Dzulhijjah 1439 H
20  Agustus       2018 M

KOMISI FATWA MAJELIS ULAMA INDONESIA


PROF.DR.H. HASANUDDIN AF., MA
Ketua

DR.H. ASRORUN NI’AM SHOLEH, MA
Sekretari



APAKAH VAKSIN MR HARAM ?

Pertama-tama kita sangat bersyukur dan berterima kasih wa jazakumullahu khaira dengan adanya MUI sebagai ulama kita yang perlu kita dengar arahan dari mereka

Beberapa poin yang perlu kita perhatikan Informasi Terkait Fatwa MUI nomor 33 Tahun 2018 mengenai vaksin MR :

1. Fatwa dan arahan MUI adalah MUBAH
Jadi boleh melakukan vaksin untuk anak-anak kita dan hal ini bisa menghilangkan keraguan

2. BPOM menyatakan produk akhir vaksin MR tidak mengandung babi.

3. Fatwa MUI tertulis adalah dalam proses menggunakan BUKAN mengandung babi
(Mohon tidak termakan isu dan berita dari koran dan portal berita yang mengatakan vaksin MR mengandung babi)


 sumber : www.promkes.net
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat ulama mengenai konsep istihalah dan istihlak
Kita sangat menghormati pendapat MUI yang tidak memasukkan konsep istihalah dan istihlak dalam vaksin ini.

Perlu diketahi bahwa vaksin polio injeksi (IPV= Injection polio vaccine) dalam proses pembuatannya juga masih menggunakan enzim tripsin babi sbagai katalisator, namun di hasil akhir vaksin sudah tidak ada. beberapa ulama memfatwakan membolehkan karena sudah tidak mengandung babi dengan kaidah istihalah dan istihlak

Misalnya fatwa, Majma’ Fiqih Al-Islami, dengan judul
.
(بيان للتشجيع على التطعيم ضد شلل الأطفال)
.
“Penjelasan untuk MEMOTIVASI gerakan imunisasi memberantas penyakit POLIO" [Sumber: http://www.fiqhacademy.org.sa/bayanat/30.htm]

Lembaga ini nama resminya adalah Majma’ Al-Fiqihi Al-Islami di bawah naungan Rabithah Al-‘Alam Al-Islami
atau Liga Muslim Sedunia adalah organiisasi Islam Internasional terbesar yang berdiri di Makkah Al-Mukarramah pada 14 Zulhijjah 1381 H/Mei 1962 M oleh 22 Negara Islam

4. Dalam fatwa ini, MUI mengakui bahwa vaksin adalah satu-satunyanya metode imunisasi. Adapun metode lain yang diklaim bisa menggantikan vaksin, ternyata oleh MUI tidak dianggap bisa menggantikan vaksin. Apabila bisa menggantikan, tentu tidak ada istilah darurat syariyyah.

Hendaknya tidak ada pihak yang mengklaim bahwa: vaksin tidak dibutuhkan dan mengklaim bahwa mereka punya alternatifnya

5. Perlu diketahui bahwa negara-negara Islam juga memakai memakai produk vaksin polio dan mewajibkan vaksin bagi penduduknya seperti Saudi dan negara Islam lainnya

Catatan Imunisasi Bayi di Arab Saudi
Sumber : Programer Imunisasi Dinas Kesehatan Kota Mojokerto

6. Hendaknya kita lebih percaya kepada ahlinya, sebagaimana arahan MUI:
"Ada keterangan dari ahli yang kompeten dan dipercaya tentang bahaya yang ditimbulkan akibat tidak diimunisasi dan belum adanya vaksin yang halal."

Hendaknya kita jauhi opini atau pendapat yang bukan ahlinya, yaitu info beberapa oknum yang menyebarkan info tidak benar mengenai vaksin (yang oknum ini bukan ahli vaksin dan ahli agama tetapi berbicara tentang vaksin) mereka mengatakan vaksin itu tidak penting, "buat apa vaksin", vaksin konspirasi dan program depopulasi vaksin bahaya dll

Jika ulama kita di MUI percaya dengan para ahli berupa dokter dan tenaga kesehatan, semoga kaum muslimin juga percaya

7. Ilmuwan muslim akan terus mengupayakan arahan MUI agar mencari dan meneliti vaksin yang tidak menggunakan babi dalam pembuatannya. Hanya saja penelitian ini butuh waktu dan cukup lama.
Secara umum WHO dan ilmuwan dunia sudah berusaha meneliti vaksin tanpa ada unsur binatang. Memakai enzim dari sapi pun akan menimbulkan pertentangan, terutama dari negara india dan sekitarnya.
Kita doakan semoga ilmuwan muslim bisa segera menemukan vaksin yang tanpa menggunakan bahan hewani sama sekali.

Demikian semoga bermanfaat

Tertanda:

1.  dr. Siti Aisyah Ekg Binti Ismail, MARS
2. dr. Arifianto Apin Sp.A
3. dr. M. Saifuddin Hakim, M.Sc
4. dr. Annisa Karnadi, IBCLC
5. dr. Piprim Yanuarso Sp.A(K)
6. dr. Any Safarodiyah Yasin, M.Gz
7. dr. Ika Fajarwati, MARS
8. dr. Farian Sakinah M.Sc
9. dr. Raehanul Bahraen

OUTBREAK RESPONSE IMMUNIZATION (ORI) DIFTERI

ORI (Outbreak Response Immunization) adalah kegiatan imunisasi tambahan yang khusus dilakukan di daerah yang mengalami kejadian luar biasa (KLB) sebanyak 3 putaran dengan jarak anatara dosis pertama - kedua adalah 1 bulan dan antara dosis kedua - ketiga adalah 6 bulan dengan ketentuan sebagai berikut :
  • Imunisasi DPT-HB-Hib untuk anak usia < 5 tahun
  • Imunisasi DT untuk anak usia 5 sampai < 7 tahun
  • Imunisasi Td untuk anak usia > 7 tahun


Dimana saja lokasi Pelayanan Imunisasi Difteri ?

Imunisasi diberikan di sekolah, Madrasah, Pondok Pesantren, Puskesmas, Posyandu, Polindes, dan fasilitas kesehatan lainnya

Reaksi ringan yang terjadi setelah imunisasi misalnya nyeri di tempat suntikan dan demam ringan, adalah hal yang biasa. Sebagian kecil bayi terkadang menjadi rewel saat menderita demam.



JANGAN LUPA LENGKAPI IMUNISASI RUTIN LAINNYA



Pertahankan Cakupan Imunisasi yang tinggi minimal 95% dan merata disemua daerah. Dibutuhkan 95% anak diimunisasi lengkap agar seluruh masyarakat dapat terlindungi dari penyakit difteri.


Apa itu Vaksin Difteri ?

Vaksin difteri adalah vaksin yang dapat mencegah penyakit difteri dan tersedia dalam berbagai bentuk kombinasi diantaranya:
  • Vaksin DPT-Hb-Hib (Pentabio)
  • Vaksin DT
  • Vaksin Td
  • Dll 




Bila seseorang telah menderita Difteri, Apakah tetap harus diimunisasi ?

Ya, karena penyakit difteri tidak memberikan kekebalan pada penderitanya di masa yang akan datang. Setelah sembuh, penderita harus di imunisasi sesuai jadwal yang dianjurkan.


Bila seseorang sudah mendapat imunisasi rutin lengkap, apakah akan kebal seumur hidup terhadap penyakit difteri ?

Tidak, Seseorang dianjurkan untuk mengulang kembali imunisasi difteri tiap 10 tahun dengan vaksin Td atau Tdap

 Apakah Vaksin ini aman ?

Vaksin difteri ini aman diberikan pada semua kelompok usia. Vaksin ini merupakan produk dalam negeri dan sudah teruji kualitas dan keamanannya oleh Badan POM dan Badan Kesehatan Dunia. Reaksi ringan yang terjadi setelah imunisasi misalnya nyeri di tempat suntikan dan demam ringan, adalah hal yang biasa. Sebagian kecil bayi terkadang menjadi rewel saat menderita demam.

Serba Serbi Penyakit Difteri

Apa itu Difteri ?

Difteri adalah penyakit infeksi yang disebabkan oleh kuman Corynebacterium Diphteriae ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi, terutama pada selaput bagian dalam saluran pernapasan bagian atas, hidung dan juga kulit.
Penyakit ini sangat mudah menular dan berbahaya karena dapat menyebabkan kematian pada 5-10% penderita.



Bagaimana Difteri Menular ?

Difteri menular dari manusia ke manusia bila terjadi kontak dengan penderita dan carrier (orang sehat yang terinfeksi difteri namun tetap bisa menularkan kuman difteri), yaitu melalui :
  • Percikan ludah yang keluar saat batuk atau bersin
  • Kontak langsung dengan permukaan kulit atau luka terbuka
  • Kontak dengan benda-benda yang terkena kuman difteri (mainan, pakaian, kasusr, dsb

Siapa yang bisa tertular Difteri ?

Tidak hanya anak-anak. Semua kelompok umur dapat tertular penyakit difteri, Terutama pada anak yang belum mendapatkan imunisasi lengkap (7X).

 
Apa Gejala Difteri ? 
  • Demam ringan, kurang lebih 38'C
  • Adanya Pseudomembran di tenggorokan, yaitu selaput bewarna putih keabuan yang tidak mudah lepas dan mudah berdarah
  • Hidung berair
  • Bengkak di area leher sehingga menyerupai leher sapi (bullneck)
  • Kesulitan bernafas atau sesak nafas disertai bunyi (stridor)


Akibat Penyakit Difteri ?
  • Tersumbatnya saluran nafas
  • Peradangan dan kelumpuhan otot jantung
  • Kematian 

Apa yang harus dilakukan bila seseorang mempunyai gejala seperti diatas ?
  • Datanglah segera ke fasilitas pelayanan kesehatan terdekat
  • Penderita harus dirawat diruang isolasi
  • Kontak erat penderita harus diperiksa juga untuk mengetahui apakah juga punya gejala-gejala penyakit difteri


 Bagaimana Cara Mencegahnya ?
  • 3 dosis imunisasi dasar DPT-HB-Hib pada saat bayi usia 2, 3, dan 4 bulan 
  • 1 dosis imunisasi lanjutan (Booster) DPT-HB-Hib saat usia 18 bulan
  • 1 dosis imunisasi lanjutan DT (Difteri Tetanus) bagi anak SD/Sederajat Kelas 1
  • 1 dosis imunisasi lanjutan Td (Tetanus difteri) bagi anak SD/Sederajat Kelas 2
  • 1 dosis imunisasi lanjutan Td bagi anak SD/Sederajat Kelas 5 

Ingat minimal 7 kali imunisasi difteri untuk menjadi kebal 


Apakah Penyakit Difteri Itu ?

Difteri adalah salah satu penyakit yang sangat menular, dapat dicegah dengan imunisasi, dan disebabkan oleh bakteri gram positif Corynebacterium diptheriae strain toksin. Penyakit ini ditandai dengan adanya peradangan pada tempat infeksi, terutama pada selaput mukosa faring, laring, tonsil, hidung dan juga pada kulit.

Manusia adalah satu-satunya reservoir Corynebacterium diptheriae. Penularan terjadi secara droplet (percikan ludah) dari batuk, bersin, muntah, melalui alat makan, atau kontak langsung dari lesi di kulit. Tanda dan gejala berupa infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) bagian atas, adanya nyeri tenggorok, nyeri menelan, demam tidak tinggi (kurang dari 38,5º C), dan ditemui adanya pseudomembrane putih/keabu-abuan/kehitaman di tonsil, faring, atau laring yang tak mudah lepas, serta berdarah apabila diangkat. Sebanyak 94 % kasus Difteri mengenai tonsil dan faring. 

Pada keadaan lebih berat dapat ditandai dengan kesulitan menelan, sesak nafas, stridor dan pembengkakan leher yang tampak seperti leher sapi (bullneck). Kematian biasanya terjadi karena obstruksi/sumbatan jalan nafas, kerusakan otot jantung, serta kelainan susunan saraf pusat dan ginjal.


Apabila tidak diobati dan penderita tidak mempunyai kekebalan, angka kematian adalah sekitar 50 %, sedangkan dengan terapi angka kematiannya sekitar 10%, (CDC Manual for the Surveilans of Vaccine Preventable Diseases, 2017). Angka kematian Difteri ratarata 5 – 10% pada anak usia kurang 5 tahun dan 20% pada dewasa (diatas 40 tahun) (CDC Atlanta, 2016).

Penyakit Difteri tersebar di seluruh dunia. Pada tahun 2014, tercatat sebanyak 7347 kasus dan 7217 kasus di antaranya (98%) berasal dari negara-negara anggota WHO South East Asian Region (SEAR). Jumlah kasus Difteri di Indonesia, dilaporkan sebanyak 775 kasus pada tahun 2013 (19% dari total kasus SEAR), selanjutnya jumlah kasus menurun menjadi 430 pada tahun 2014 (6% dari total kasus SEAR).


Jumlah kasus Difteri di Indonesia sedikit meningkat pada tahun 2016 jika dibandingkan dengan tahun 2015 (529 kasus pada tahun 2015 dan 591 pada tahun 2016). Demikian pula jumlah Kabupaten/Kota yang terdampak pada tahun 2016 mengalami peningkatan jika dibandingkan dengan jumlah Kabupaten/ Kota pada tahun 2015. Tahun 2015 sebanyak 89 Kabupaten/ Kota dan pada tahun 2016 menjadi 100 Kabupaten/ Kota.

Sejak vaksin toxoid Difteri diperkenalkan pada tahun 1940an, maka secara global pada periode tahun 1980 – 2000 total kasus Difteri menurun lebih dari 90%. Imunisasi DPT di Indonesia dimulai sejak tahun 1976 dan diberikan 3 kali, yaitu pada bayi usia 2, 3, dan 4 bulan. Selanjutnya Imunisasi lanjutan DT dimasukkan kedalam program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) pada tahun 1984. Untuk semakin meningkatkan perlindungan terhadap penyakit Difteri, imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib mulai dimasukkan ke dalam program imunisasi rutin pada usia 18 bulan sejak tahun 2014, dan imunisasi Td menggantikan imunisasi TT pada anak sekolah dasar. 



Sumber : 
Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Difteri
Kementerian Kesehatan RI

REKOMENDASI PENCEGAHAN DIFTERI



1.  Saat ini masih berlangsung KLB difteri di wilayah yang akan menjadi lokasi penyelenggaraan dan penyanggah ASIAN GAMES (8 provinsi). Terjadi penambahan kasus baru dalam satu bulan terakhir pada 5 dari 8 provinsi.

2.    Risiko bila tidak dilakukan penanggulangan komprehensif saat ini, dikhawatirkan saat penyelenggaraan ASIAN GAMES akan terjadi penularan pada massa yang akan berkumpul.

3.    Usia terendah kasus difteri adalah kurang dari satu tahun dan usia tertinggi adalah 59 tahun. Range usia terbanyak adalah usia 1 (satu) hingga 18 tahun. Dalam tiga tahun terakhir proporsi kelompok umur kasus terbesar adalah usia lebih dari 5 tahun.

4.    Akumulasi kelompok rentan (susceptible) berdasarkan imunisasi dasar dari 2008-2016, tidak berbanding lurus dengan terjadinya KLB difteri di suatu daerah. Ini menunjukan imunisasi dasar saja tidak cukup untuk memberikan perlindungan sehingga meningkatkan immunity gap / kesenjangan imunitas pada populasi. Capaian cakupan imunisasi batita masih rendah secara nasional, pada 8 provinsi mencapai 60,4%.

5. Terdapat pengalaman daerah dalam penanggulangan KLB difteri dengan melaksanakan ORI/imunisasi massal dengan sasaran usia yang cukup luas yaitu < 15 tahun dan hasil cakupan tinggi, dengan menunjukan kencendrungan penurunan kasus.




    Rekomendasi :

Mempertimbangkan kajian epidemiologi, ketersediaan sumber daya serta pengalaman empiris dalam penanggulangan KLB difteri, maka perlu dilakukan Langkah – langkah sebagai berikut :

1.    Membuat surat edaran dari Kemendagri ke seluruh Gubernur/Bupati/Walikota tentang penguatan Imunisasi rutin dan peningkatan surveilans difteri, serta melakukan penanggulangan KLB difteri di daerah terjangkit secara optimal.

2.    Melakukan upaya untuk menutup kesenjangan imunitas (immunity gap), dengan melakukan 3 putaran ORI dengan cakupan tinggi (>90%), pada saat 0-1-6 bulan tanpa memandang status imunisasi, di kabupaten terjangkit dan berisiko tinggi difteri di 8 provinsi. Sasaran kelompok umur 1 - 18 tahun (sampai kelas tiga SLTA).

3.    Bagi Tim ASIAN GAMES dari negara yang akan datang ke Indonesia, dianjurkan mendapatkan imunisasi difteri lengkap atau minimal 1 doses 4 minggu sebelum kedatangannya.

4.    Bagi Tim ASIAN GAMES dari Indonesia, diharuskan mendapatkan imunisasi difteri lengkap minimal 4 minggu sebelum mengikuti kegiatan ASIAN GAMES.

5.    Terkait item no 3 dan 4, perlu koordinasi dengan Kementerian Olah raga/Kementerian Luar negeri untuk mempersiapkan surat pemberitahuan ke negara-negara peserta.
6.    Melibatkan KKP dalam skrining pengecekan status Imunisasi difteri bagi setiap Tim ASIAN GAMES yang masuk wilayah Indonesia.



7.    Melakukan analisa sero epidemiologi dari specimen (tahun 2012) yang ada di Badan Litbangkes untuk mengetahui kelompok umur rentan. Hasil sero epidemiologi dapat menjadi acuan untuk menetukan sasaran pelaksanaan SIA dalam rangka penanggulangan KLB Difteri.

8.    Semua petugas kesehatan yang berisiko agar mendapatkan imunisasi difteri 3 dosis dengan interval 0, 1, 6 bulan atau melengkapi imunisasi difteri yang pernah didapat.

9.    Memberikan imunisasi booster difteri usia dewasa setiap 10 tahun sekali.

10.  Tatalaksana dilakukan pada kasus, kontak dan karier:

a.   Tatalaksana kasus klinis yaitu yang ditemukan adanya infeksi saluran pernafasan dan pseudomembran. Kasus diisolasi, diambil sampel kultur swab hidung dan tenggorok dengan menggunakan media amis transport, pemberian antibiotik dan pemberian Anti Difteri Serum (ADS) tanpa menunggu hasil laboratorium. Pemberian ADS disesuaikan dengan rekomendasi WHO. Tatalaksana selanjutnya harus disertai dengan pengamatan adanya komplikasi jangka pendek dan jangka panjang. Pengambilan sampel pada kasus hari pertama dan kedua, selanjutnya pada hari ketujuh.

b.   Tatalaksana kontak, dilakukan pengambilan sampel swab hidung dan tenggorok, pemberian antibiotik profilaksis sesuai dosis selama 7-10 hari. Jika hasil laboratorium kontak penderita positif (karier) maka di lanjutkan pemberian antibiotik selama 7-10 hari lagi sampai hasil laboratoriumnya negatif.

c.   Melakukan pemantauan minum obat kontak dan karier agar obat di minum sesuai aturan.

11.  Membentuk jejaring laboratorium difteri yang mampu melakukan pemeriksaan toksigenik (untuk konfirmasi) bakteri, secara bertahap. Dapat mempertimbangkan BBLK surabaya, Litbangkes sebagai rujukan nasional dan mengembangkan ke BBTKL Jakarta, Jogjakarta dan Banjar baru

12.  Standar pemeriksaan laboratorium adalah kultur untuk semua KLB (kasus dan kontak) dan pemeriksaan elek test untuk kasus indeks.


Sumber:

Prof.Dr.dr. Ismoedijanto,Sp.A (K)

HIMBAUAN TENTANG PENYAKIT DIFTERI

Sehubungan dengan peningkatan kasus difteri di beberapa wilayah Indonesia, maka Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) mengingatkan bahwa:
  • Penyakit difteri sangat menular dan dapat menyebabkan kematian. Penyakit difteri dapat dicegah dengan melakukan imunisasi sesuai jadwal yang direkomendasikan oleh Kementerian Kesehatan atau Ikatan Dokter Anak Indonesia.
  • Imunisasi adalah perlindungan terbaik terhadap kemungkinan tertular penyakit difteri, dan dapat diperoleh dengan mudah di berbagai fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta.
  • Lengkapi imunisasi DPT/DT/Td anak anda sesuai jadwal imunisasi anak Kementerian Kesehatan atau Ikatan Dokter Anak Indonesia. Imunisasi difteri lengkap adalah sebagai berikut:
    • Usia kurang dari 1 tahun harus mendapatkan 3 kali imunisasi difteri (DPT).
    • Anak usia 1 sampai 5 tahun harus mendapatkan imunisasi ulangan sebanyak 2 kali.
    • Anak usia sekolah harus mendapatkan imunisasi difteri melalui program Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) siswa sekolah dasar (SD) kelas 1, kelas 2, dan kelas 3 atau kelas 5.
    • Setelah itu, imunisasi ulangan dilakukan setiap 10 tahun, termasuk orang dewasa. Apabila status imunisasi belum lengkap, segera lakukan imunisasi di fasilitas kesehatan terdekat.


  • Kenali gejala awal difteri. Gejala awal difteri bisa tidak spesifik, seperti:
    • Demam tidak tinggi
    • Nafsu makan menurun
    • Lesu
    • Nyeri menelan dan nyeri tenggorok
    • Sekret hidung kuning kehijauan dan bisa disertai darah



Namun memiliki tanda khas berupa selaput putih keabu-abuan di tenggorok atau hidung, yang dilanjutkan dengan pembengkakan leher atau disebut sebagai bull neck.
  • Segera ke fasilitas kesehatan terdekat apabila anak anda mengeluh nyeri tenggorokan disertai suara berbunyi seperti mengorok (stridor) atau pembesaran kelenjar getah bening leher, khususnya anak berumur < 15 tahun.
  • Anak harus segera dirawat di rumah sakit apabila dicurigai menderita difteri agar segera mendapat pengobatan dan pemeriksaan laboratorium untuk memastikan apakah anak benar menderita difteri.
  • Apabila anak anda didiagnosis difteri, akan diberikan tatalaksana yang sesuai termasuk perawatan isolasi
  • Untuk memutuskan rantai penularan, seluruh anggota keluarga serumah harus segera diperiksa oleh dokter dan petugas dari Dinas Kesehatan, serta mendapat obat yang harus dihabiskan untuk mencegah penyakit, apakah mereka juga menderita atau karier (pembawa kuman) difteri dan mendapat pengobatan.
  • Anggota keluarga yang tidak menderita difteri, segera dilakukan imunisasi DPT/DT/Td sesuai usia.
  • Laksanakan semua petunjuk dari Dokter dan Petugas Kesehatan setempat
  • Setelah imunisasi DPT, kadang-kadang timbul demam, bengkak dan nyeri ditempat suntikan DPT, yang merupakan reaksi normal dan akan hilang dalam 1-2 hari. Bila anak mengalami demam atau bengkak di tempat suntikan, boleh minum obat penurun panas parasetamol sehari 4 x sesuai umur, sering minum jus buah atau susu, serta pakailah baju tipis atau segera berobat ke petugas kesehatan terdekat.
  • Anak dengan batuk pilek ringan dan tidak demam tetap bisa mendapatkan imunisasi DPT/DT/Td sesuai usia. Jika imunisasi tertunda atau belum lengkap, segera lengkapi di fasilitas kesehatan terdekat

Sumber:
IDAI
Ikatan Dokter Anak Indonesia